Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya`ban 1340 H. Dari sisi ayah, ia adalah keturunan Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, ia adalah keturunan Jalaluddin Rumi (q), pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Sayyidina Hasan (a) dan Hussein (a), cucu Nabi Muhammad (s). Selama masa kanak-kanak di Siprus, ia selalu berkumpul bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk mempelajari spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda yang luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim (q) kecil, perilakunya sempurna. Ia tidak pernah berselisih dengan siapapun, ia selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatihnya pada jalan spiritual.
Ketika remaja, Syekh Nazim (q) sangat diperhitungkan karena tingkat spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaka mengenalnya, karena dengan usia yang masih teramat muda ia mampu memberi nasihat kepada orang-orang, meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun ibunya sering mencarinya, dan mendapatinya sedang berada di dalam masjid atau di makam Ummu Hiram (r) yang berada di sebelah masjid. Ummu Hiram (r) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang makamnya terdapat di Siprus. Banyak sekali peziarah yang datang ke sana karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung di atas makam itu.
Ketika ibunya mengajaknya pulang, ia berkata, “Biarkan aku di sini dengan Ummu Hiram (r), beliau adalah leluhur kita.” Biasanya Syekh Nazim (q) terlihat sedang berbicara, mendengar atau menjawab seperti sedang berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, ia akan berkata, “Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang berada di makam ini.”
Ayahnya mengirimkannya ke sekolah umum di siang hari dan sore harinya ia mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia adalah seorang anak yang jenius di antara teman-temannya. Setelah menamatkan sekolahnya (setara SMU) Syekh Nazim (q) menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah. Ia mengikuti shuhba Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah pada hari Kamis dan Jumat.
Ia mempelajari ilmu syariah, fikih, ilmu hadits, ilmu logika dan tafsir Qur’an. Ia mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-masalah Islam secara luas. Ia juga mampu berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkatan spiritual. Ia diberi kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang sederhana dan jelas.
Setelah tamat SMU di Siprus, Syekh Nazim (q) pindah ke Istanbul pada tahun 1359 H. /1940 M., Di sana ia tinggal bersama kedua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya. Ia menimba ilmu di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama ia memperdalam hukum Islam dan bahasa Arab pada gurunya, Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q), yang wafat pada tahun 1375 H./1955 M. Syekh Nazim (q) meraih gelar sarjana di bidang Teknik Kimia dengan hasil yang memuaskan dibandingkan teman-temannya. Ketika profesor di universitasnya memberi saran agar ia melanjutkan penelitiannya, ia mengatakan, ”Aku tidak tertarik dengan ilmu modern. Hatiku selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”
Ia dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya`ban 1340 H. Dari sisi ayah, ia adalah keturunan Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, ia adalah keturunan Jalaluddin Rumi (q), pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Sayyidina Hasan (a) dan Hussein (a), cucu Nabi Muhammad (s). Selama masa kanak-kanak di Siprus, ia selalu berkumpul bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk mempelajari spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda yang luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim (q) kecil, perilakunya sempurna. Ia tidak pernah berselisih dengan siapapun, ia selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatihnya pada jalan spiritual.
Ketika remaja, Syekh Nazim (q) sangat diperhitungkan karena tingkat spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaka mengenalnya, karena dengan usia yang masih teramat muda ia mampu memberi nasihat kepada orang-orang, meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun ibunya sering mencarinya, dan mendapatinya sedang berada di dalam masjid atau di makam Ummu Hiram (r) yang berada di sebelah masjid. Ummu Hiram (r) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang makamnya terdapat di Siprus. Banyak sekali peziarah yang datang ke sana karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung di atas makam itu.
Ketika ibunya mengajaknya pulang, ia berkata, “Biarkan aku di sini dengan Ummu Hiram (r), beliau adalah leluhur kita.” Biasanya Syekh Nazim (q) terlihat sedang berbicara, mendengar atau menjawab seperti sedang berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, ia akan berkata, “Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang berada di makam ini.”
Ayahnya mengirimkannya ke sekolah umum di siang hari dan sore harinya ia mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia adalah seorang anak yang jenius di antara teman-temannya. Setelah menamatkan sekolahnya (setara SMU) Syekh Nazim (q) menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah. Ia mengikuti shuhba Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah pada hari Kamis dan Jumat.
Ia mempelajari ilmu syariah, fikih, ilmu hadits, ilmu logika dan tafsir Qur’an. Ia mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-masalah Islam secara luas. Ia juga mampu berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkatan spiritual. Ia diberi kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang sederhana dan jelas.
Setelah tamat SMU di Siprus, Syekh Nazim (q) pindah ke Istanbul pada tahun 1359 H. /1940 M., Di sana ia tinggal bersama kedua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya. Ia menimba ilmu di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama ia memperdalam hukum Islam dan bahasa Arab pada gurunya, Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q), yang wafat pada tahun 1375 H./1955 M. Syekh Nazim (q) meraih gelar sarjana di bidang Teknik Kimia dengan hasil yang memuaskan dibandingkan teman-temannya. Ketika profesor di universitasnya memberi saran agar ia melanjutkan penelitiannya, ia mengatakan, ”Aku tidak tertarik dengan ilmu modern. Hatiku selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”
Pada tahun pertamanya di Istanbul, ia bertemu dengan guru spiritual pertamanya, Syekh Sulayman Arzurumi (q), seorang Syekh dari Tarekat Naqsybandi yang wafat pada tahun 1368 H./1948 M. Sambil kuliah Syekh Nazim (q) belajar dengannya sebagai tambahan dari ilmu tarekat yang telah dimilikinya, yaitu Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau akan terlihat di masjid Sultan Ahmad, bertafakur sepanjang malam.
Syekh Nazim (q) menuturkan,
“Di sana aku menerima berkah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku melakukan salat subuh bersama kedua guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) dan Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q). Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual di dalam kalbuku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi ke Damaskus, tetapi hal itu belum diizinkan. Aku sering melihat Nabi (s) memanggilku ke hadiratnya. Ada keinginan yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan pindah ke kota suci Nabi (s).
Suatu hari ketika keinginan hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu. Guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) datang dan menepuk pundakku seraya mengatakan, ’Sekarang izin sudah turun. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran spiritualmu bukan berada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q). Beliau adalah pemegang kunci-kuncimu. Temuilah beliau di Damaskus. Izin yang kuberikan ini berasal dari Nabi (s).’ (Syekh Sulayman Arzurumi (q) adalah salah satu dari 313 awliya Tarekat Naqsybandi yang merepresentasikan 313 rasul).
Penglihatan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat Syekh menuju masjid, aku berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata, ”Wahai anakku, apakah kau bahagia dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa beliau juga telah mengetahui semuanya. “Jangan tunda lagi, segeralah berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau informasi lainnya, kecuali sebuah nama: Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) di Damaskus.
Dari Istanbul ke Aleppo aku naik kereta. Selama di perjalanan aku pergi dari satu masjid ke masjid lainnya untuk salat, berkumpul dengan para ulama dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan tafakur.
Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri dari serangan Inggris. Jadi aku pergi ke Homs di mana terdapat makam Khalid bin Walid (r), Sahabat Nabi (s) di sana. Ketika aku masuk ke dalam masjid untuk salat, seorang pelayan mendatangiku dan berkata, ‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi (s) mendatangiku. Beliau (s) mengatakan, “Salah satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau (s) memberi petunjuk bagaimana ciri-ciri cucunya yang sekarang aku lihat semua tanda-tandanya pada dirimu.’
Ia memberiku sebuah kamar di dalam masjid itu. Aku tinggal selama setahun di sana. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk salat dan duduk ditemani oleh 2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir, fikih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Syekh Muhammad Ali Uyun as-Sud (q) dan Syekh `Abdul Aziz Uyun as-Sud (q). Di sana, aku juga mengikuti pelajaran-pelajaran dari dua orang Syekh Naqsybandi, yaitu Syekh `Abdul Jalil Murad (q) dan Syekh Said as-Suba’i (q). Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus lewat jalur yang lebih aman"
Pada tahun 1364 H./1944 M., Syekh Nazim (q) pergi ke Tripoli dengan bus. Bus ini membawanya sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tak seorang pun di sana yang dikenalinya. Ketika ia sedang berjalan mengelilingi pelabuhan, ia melihat seseorang yang datang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama Syekh Munir al-Malek (q). Beliau juga merupakan Syekh atas semua Tarekat Sufi di kota itu. Beliau bertanya, “Apakah engkau Syekh Nazim (q)? Aku bermimpi di mana Nabi (s) mengatakan, ‘Salah satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau (s) menunjukkan gambaran mengenai sosokmu dan menyuruhku mencarimu di daerah ini. Nabi (s) menyuruhku untuk menjagamu.”
Syekh Nazim (q) menuturkan hal ini,
"Aku tinggal dengan Syekh Munir al-Malek (q) selama sebulan. Beliau mengatur perjalananku menuju Homs dan kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jumat tahun 1365 H./1945 awal tahun Hijriah. Aku tahu bahwa Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tinggal di wilayah Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habasyi (r) dan banyak keturunan dari keluarga Nabi (s). Sebuah daerah kuno yang penuh dengan monumen-monumen bersejarah.
Aku pun tidak tahu yang mana rumah Syekh `Abdullah (q). Sebuah penglihatan datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syekh keluar dari rumahnya dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan aku tetap tidak melihat seorang pun di jalan. Keadaan tampak senyap akibat invasi Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai bertafakur di dalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syekh` Abdullah (q). Sekilas gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang khas. Aku berusaha mencari sampai akhirnya aku menemukannya. Ketika akan kuketuk, Syekh membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”
Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku bertemu dengan Syekh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan menaiki tangga di dalam kamarnya dan berkata, “Kami sudah menunggumu.”
Di dalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada keinginan untuk mengunjungi kota Nabi (s). Aku bertanya kepadanya, “Apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan kuberi jawaban, sekarang waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami salat Isya berjamaah, dan kemudian tidur.
Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan salat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada di Hadirat Ilahi dan hatiku semakin tertarik padanya. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat salat kami menuju ke Bayt al-Ma`mur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan oleh Syekh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima ilmu di dalam kalbuku yang sebelumnya tidak pernah kudengar atau kupelajari. Kata-kata, kelompok kata, kalimat diletakkan sekaligus dalam tata cara yang indah, dialirkan ke dalam kalbuku, dari maqam yang satu ke maqam berikutnya sampai terangkat menuju Bayt al-Ma`mur. Di sana aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) nabi berbaris melakukan salat, dan Nabi Muhammad (s) bertindak sebagai imamnya.
Aku melihat 124.000 sahabat Nabi (s) yang berbaris di belakang beliau (s). Aku melihat 7007 awliya Tarekat Naqsybandi berdiri di belakang mereka mengerjakan salat. Aku juga melihat 124.000 awliya tarekat lain berbaris melaksanakan salat.
Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat di sebelah Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Grandsyekh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun melaksanakan Salat Subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi (s) memimpin salat itu, bacaan yang dilantunkannya sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang sifatnya Ilahiah.
Begitu salat selesai, penglihatan itu pun berakhir, tepat ketika Syekh menyuruhku untuk mengumandangkan azan subuh. Beliau menjadi imam dan aku di belakangnya. Dari luar aku mendengar suara peperangan antara 2 pihak tentara. Grandsyekh segera membay’at-ku dalam Tarekat Naqsybandi; beliau berkata, ‘Anakku, kami mempunyai kekuatan untuk bisa membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’ Sambil melihat ke arah kalbuku, kedua matanya berubah warna, dari kuning menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam. Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dipancarkan ke dalam kalbuku.
Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘kalbu’. Beliau mengalirkan segala jenis ilmu eksternal/lahir yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.
Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/sirr’, ilmu dari seluruh 40 Tarekat yang berasal dari `Ali bin Abi Thalib (r). Aku rasakan diriku menjadi ahli dalam seluruh tarekat ini. Mata beliau berubah warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah tingkatan ‘sirr as-sirr’ yang hanya diizinkan bagi para Syekh Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakar (r). Saat itu mata Grandsyekh telah berubah menjadi putih.
Maqam keempat yaitu ‘ilmu spiritual tersembunyi/khafa’ di mana saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau.
Dan terakhir adalah tahap akhfa, maqam yang paling rahasia di mana tak ada apapun yang tampak di sana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan di sinilah beliau mengantarku menuju Hadirat Allah (swt). Kemudian Grandsyekh mengembalikan aku pada kondisi semula.
Rasa cintaku pada Grandsyekh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali agar bisa berdekatan dan berkhidmah kepada beliau selamanya. Namun perasaan damai itu terasa bagaikan disambar petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan, ‘Anakku, orang-orang membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’
Aku telah menempuh perjalanan selama satu setengah tahun untuk bisa bertemu dengannya. Aku habiskan satu malam bersamanya dan kini beliau memintaku untuk kembali ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun. Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam Tarekat Sufi, seorang murid harus menyerah pada kehendak Syekhnya. Setelah mencium tangan dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju Siprus.
Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang menghampiriku, ‘Syekh, kau butuh tumpangan?’ ‘Ya! Ke mana tujuanmu?’ Aku balik bertanya. ‘Ke Tripoli,’ jawabnya. Kemudian setelah dua hari perjalanan dengan truknya, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan,’ kataku. ‘Untuk apa?’ ‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’ ‘Bagaimana bisa? Tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’ ‘Tidak apa-apa. Antarkan aku ke sana.’ Ketika ia menurunkan aku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syekh Munir al-Malek (q) menghampiriku. Beliau berkata, ‘Cinta macam apakah yang dimiliki kakekmu padamu? Nabi (s) datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan, ‘Cucuku Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’
Aku tinggal bersama Syekh Munir (q) selama 3 hari. Aku memintanya untuk mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar, maka hal itu sangat mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kau bisa pergi, tetapi amat berbahaya!’ kata Syekh Munir (q). ‘Tetapi aku harus pergi, ini adalah perintah Syekhku.’ Syekh Munir (q) membayar sejumlah uang kepada pemilik perahu untuk membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang biasanya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu bermotor. Segera setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam hatiku.
Aku merasa Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) mengatakan kepadaku, ‘Wahai anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat terlihat olehmu. Setiap kali kau arahkan kalbumu kepadaku, aku akan selalu berada di sana. Segala pertanyaan yang kau ajukan akan dijawab langsung dari Hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang ingin kau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena kepasrahan dirimu sepenuhnya. Semua awliya puas denganmu, Nabi (s) pun bahagia terhadap dirimu.’
Ketika hal itu terjadi, aku merasakan Syekh ada di sisiku dan sejak saat itu beliau tidak pernah meninggalkan aku. Beliau selalu berada di sampingku"
Syekh Nazim (q) menuturkan,
“Di sana aku menerima berkah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku melakukan salat subuh bersama kedua guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) dan Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q). Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual di dalam kalbuku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi ke Damaskus, tetapi hal itu belum diizinkan. Aku sering melihat Nabi (s) memanggilku ke hadiratnya. Ada keinginan yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan pindah ke kota suci Nabi (s).
Suatu hari ketika keinginan hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu. Guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) datang dan menepuk pundakku seraya mengatakan, ’Sekarang izin sudah turun. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran spiritualmu bukan berada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q). Beliau adalah pemegang kunci-kuncimu. Temuilah beliau di Damaskus. Izin yang kuberikan ini berasal dari Nabi (s).’ (Syekh Sulayman Arzurumi (q) adalah salah satu dari 313 awliya Tarekat Naqsybandi yang merepresentasikan 313 rasul).
Penglihatan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat Syekh menuju masjid, aku berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata, ”Wahai anakku, apakah kau bahagia dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa beliau juga telah mengetahui semuanya. “Jangan tunda lagi, segeralah berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau informasi lainnya, kecuali sebuah nama: Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) di Damaskus.
Dari Istanbul ke Aleppo aku naik kereta. Selama di perjalanan aku pergi dari satu masjid ke masjid lainnya untuk salat, berkumpul dengan para ulama dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan tafakur.
Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri dari serangan Inggris. Jadi aku pergi ke Homs di mana terdapat makam Khalid bin Walid (r), Sahabat Nabi (s) di sana. Ketika aku masuk ke dalam masjid untuk salat, seorang pelayan mendatangiku dan berkata, ‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi (s) mendatangiku. Beliau (s) mengatakan, “Salah satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau (s) memberi petunjuk bagaimana ciri-ciri cucunya yang sekarang aku lihat semua tanda-tandanya pada dirimu.’
Ia memberiku sebuah kamar di dalam masjid itu. Aku tinggal selama setahun di sana. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk salat dan duduk ditemani oleh 2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir, fikih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Syekh Muhammad Ali Uyun as-Sud (q) dan Syekh `Abdul Aziz Uyun as-Sud (q). Di sana, aku juga mengikuti pelajaran-pelajaran dari dua orang Syekh Naqsybandi, yaitu Syekh `Abdul Jalil Murad (q) dan Syekh Said as-Suba’i (q). Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus lewat jalur yang lebih aman"
Pada tahun 1364 H./1944 M., Syekh Nazim (q) pergi ke Tripoli dengan bus. Bus ini membawanya sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tak seorang pun di sana yang dikenalinya. Ketika ia sedang berjalan mengelilingi pelabuhan, ia melihat seseorang yang datang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama Syekh Munir al-Malek (q). Beliau juga merupakan Syekh atas semua Tarekat Sufi di kota itu. Beliau bertanya, “Apakah engkau Syekh Nazim (q)? Aku bermimpi di mana Nabi (s) mengatakan, ‘Salah satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau (s) menunjukkan gambaran mengenai sosokmu dan menyuruhku mencarimu di daerah ini. Nabi (s) menyuruhku untuk menjagamu.”
Syekh Nazim (q) menuturkan hal ini,
"Aku tinggal dengan Syekh Munir al-Malek (q) selama sebulan. Beliau mengatur perjalananku menuju Homs dan kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jumat tahun 1365 H./1945 awal tahun Hijriah. Aku tahu bahwa Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tinggal di wilayah Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habasyi (r) dan banyak keturunan dari keluarga Nabi (s). Sebuah daerah kuno yang penuh dengan monumen-monumen bersejarah.
Aku pun tidak tahu yang mana rumah Syekh `Abdullah (q). Sebuah penglihatan datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syekh keluar dari rumahnya dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan aku tetap tidak melihat seorang pun di jalan. Keadaan tampak senyap akibat invasi Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai bertafakur di dalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syekh` Abdullah (q). Sekilas gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang khas. Aku berusaha mencari sampai akhirnya aku menemukannya. Ketika akan kuketuk, Syekh membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”
Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku bertemu dengan Syekh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan menaiki tangga di dalam kamarnya dan berkata, “Kami sudah menunggumu.”
Di dalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada keinginan untuk mengunjungi kota Nabi (s). Aku bertanya kepadanya, “Apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan kuberi jawaban, sekarang waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami salat Isya berjamaah, dan kemudian tidur.
Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan salat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada di Hadirat Ilahi dan hatiku semakin tertarik padanya. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat salat kami menuju ke Bayt al-Ma`mur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan oleh Syekh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima ilmu di dalam kalbuku yang sebelumnya tidak pernah kudengar atau kupelajari. Kata-kata, kelompok kata, kalimat diletakkan sekaligus dalam tata cara yang indah, dialirkan ke dalam kalbuku, dari maqam yang satu ke maqam berikutnya sampai terangkat menuju Bayt al-Ma`mur. Di sana aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) nabi berbaris melakukan salat, dan Nabi Muhammad (s) bertindak sebagai imamnya.
Aku melihat 124.000 sahabat Nabi (s) yang berbaris di belakang beliau (s). Aku melihat 7007 awliya Tarekat Naqsybandi berdiri di belakang mereka mengerjakan salat. Aku juga melihat 124.000 awliya tarekat lain berbaris melaksanakan salat.
Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat di sebelah Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Grandsyekh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun melaksanakan Salat Subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi (s) memimpin salat itu, bacaan yang dilantunkannya sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang sifatnya Ilahiah.
Begitu salat selesai, penglihatan itu pun berakhir, tepat ketika Syekh menyuruhku untuk mengumandangkan azan subuh. Beliau menjadi imam dan aku di belakangnya. Dari luar aku mendengar suara peperangan antara 2 pihak tentara. Grandsyekh segera membay’at-ku dalam Tarekat Naqsybandi; beliau berkata, ‘Anakku, kami mempunyai kekuatan untuk bisa membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’ Sambil melihat ke arah kalbuku, kedua matanya berubah warna, dari kuning menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam. Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dipancarkan ke dalam kalbuku.
Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘kalbu’. Beliau mengalirkan segala jenis ilmu eksternal/lahir yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.
Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/sirr’, ilmu dari seluruh 40 Tarekat yang berasal dari `Ali bin Abi Thalib (r). Aku rasakan diriku menjadi ahli dalam seluruh tarekat ini. Mata beliau berubah warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah tingkatan ‘sirr as-sirr’ yang hanya diizinkan bagi para Syekh Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakar (r). Saat itu mata Grandsyekh telah berubah menjadi putih.
Maqam keempat yaitu ‘ilmu spiritual tersembunyi/khafa’ di mana saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau.
Dan terakhir adalah tahap akhfa, maqam yang paling rahasia di mana tak ada apapun yang tampak di sana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan di sinilah beliau mengantarku menuju Hadirat Allah (swt). Kemudian Grandsyekh mengembalikan aku pada kondisi semula.
Rasa cintaku pada Grandsyekh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali agar bisa berdekatan dan berkhidmah kepada beliau selamanya. Namun perasaan damai itu terasa bagaikan disambar petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan, ‘Anakku, orang-orang membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’
Aku telah menempuh perjalanan selama satu setengah tahun untuk bisa bertemu dengannya. Aku habiskan satu malam bersamanya dan kini beliau memintaku untuk kembali ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun. Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam Tarekat Sufi, seorang murid harus menyerah pada kehendak Syekhnya. Setelah mencium tangan dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju Siprus.
Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang menghampiriku, ‘Syekh, kau butuh tumpangan?’ ‘Ya! Ke mana tujuanmu?’ Aku balik bertanya. ‘Ke Tripoli,’ jawabnya. Kemudian setelah dua hari perjalanan dengan truknya, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan,’ kataku. ‘Untuk apa?’ ‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’ ‘Bagaimana bisa? Tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’ ‘Tidak apa-apa. Antarkan aku ke sana.’ Ketika ia menurunkan aku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syekh Munir al-Malek (q) menghampiriku. Beliau berkata, ‘Cinta macam apakah yang dimiliki kakekmu padamu? Nabi (s) datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan, ‘Cucuku Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’
Aku tinggal bersama Syekh Munir (q) selama 3 hari. Aku memintanya untuk mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar, maka hal itu sangat mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kau bisa pergi, tetapi amat berbahaya!’ kata Syekh Munir (q). ‘Tetapi aku harus pergi, ini adalah perintah Syekhku.’ Syekh Munir (q) membayar sejumlah uang kepada pemilik perahu untuk membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang biasanya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu bermotor. Segera setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam hatiku.
Aku merasa Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) mengatakan kepadaku, ‘Wahai anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat terlihat olehmu. Setiap kali kau arahkan kalbumu kepadaku, aku akan selalu berada di sana. Segala pertanyaan yang kau ajukan akan dijawab langsung dari Hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang ingin kau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena kepasrahan dirimu sepenuhnya. Semua awliya puas denganmu, Nabi (s) pun bahagia terhadap dirimu.’
Ketika hal itu terjadi, aku merasakan Syekh ada di sisiku dan sejak saat itu beliau tidak pernah meninggalkan aku. Beliau selalu berada di sampingku"
Syekh Nazim (q) bersama Sultan Brunei (kiri) dan Pengeran dari Malaysia, Raja Ashman (kanan) | Syekh Nazim (q) bersama istrinya (Hajah Amina (q), w.2004), dan kedua putrinya (di depan) di rumah beliau di Siprus. Sebagai seorang Syekh dari Tarekat Mawlawiyyah, Syekh Nazim (q) mengenakan turban tradisional yang merupakan ciri khasnya, dililitkan pada sikke Mawlawiyyah yang tinggi. |
Syekh Nazim (q) mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus. Banyak murid yang mendatangi beliau dan menerima Tarekat Naqsybandi. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan mengumandangkan azan pun tidak diperbolehkan.
Langkahnya yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana; akibatnya ia segera dimasukkan ke dalam penjara selama seminggu. Setelah dibebaskan, Syekh Nazim (q) pergi ke masjid besar di Nikosia dan mengumandangkan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan ia dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syekh Nazim (q) terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggunya. Pengacara menasihatinya untuk berhenti melakukan azan, namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa berhenti. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk salat.”
Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, ia bisa dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang pria bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Itulah keajaiban Syekh kita.
Selama bertahun-tahun di sana, ia telah melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Siprus. Ia juga mengunjungi Libanon, Mesir, Saudi Arabia dan tempat-tempat lain untuk mengajar Tarekat Sufi. Syekh Nazim (q) kembali ke Damaskus pada tahun 1952, ketika ia menikahi salah satu murid Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu Hajah Amina Adil (q). Sejak saat itu ia tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama 3 bulan pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan.
Syekh Nazim (q) dan keluarganya tinggal di Damaskus. Keluarganya selalu menyertai bila Syekh Nazim (q) pergi ke Siprus. Syekh Nazim (q) mempunyai dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Langkahnya yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana; akibatnya ia segera dimasukkan ke dalam penjara selama seminggu. Setelah dibebaskan, Syekh Nazim (q) pergi ke masjid besar di Nikosia dan mengumandangkan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan ia dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syekh Nazim (q) terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggunya. Pengacara menasihatinya untuk berhenti melakukan azan, namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa berhenti. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk salat.”
Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, ia bisa dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang pria bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Itulah keajaiban Syekh kita.
Selama bertahun-tahun di sana, ia telah melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Siprus. Ia juga mengunjungi Libanon, Mesir, Saudi Arabia dan tempat-tempat lain untuk mengajar Tarekat Sufi. Syekh Nazim (q) kembali ke Damaskus pada tahun 1952, ketika ia menikahi salah satu murid Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu Hajah Amina Adil (q). Sejak saat itu ia tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama 3 bulan pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan.
Syekh Nazim (q) dan keluarganya tinggal di Damaskus. Keluarganya selalu menyertai bila Syekh Nazim (q) pergi ke Siprus. Syekh Nazim (q) mempunyai dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Perjalanan Syekh Nazim (q)
Syekh Nazim (q) menunaikan ibadah haji setiap tahunnya untuk memimpin jemaah haji dari Siprus. Ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali, baik untuk menjaga murid-muridnya atau mengikuti Grandsyekh `Abdullah (q).
Suatu saat Grandsyekh mengatakan agar ia pergi ke Aleppo dari Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, ajaran Sufisme dan ajaran Islam. Jarak antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Perlu waktu lebih dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syekh Nazim (q) berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa, ia tinggal di sana selama seminggu untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, memimpin zikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanannya sampai ke desa selanjutnya. Namanya pun mulai terdengar di setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai perbatasan Turki dekat Aleppo.
Hal yang sama juga diperintahkan dan dijalankan oleh Syekh Nazim (q), yaitu agar ia berjalan kaki ke Siprus. Dari desa yang satu ke desa lainnya, ia berdakwah, menyeru orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan kehidupan materialistik, sekularisme dan atheisme.
Ia amat dicintai di seluruh Siprus, dan masyhur dengan sebutan ‘Syekh Nazim (q) Yesilbas, atau Syekh Nazim yang berturban hijau’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau
Ia sering mengunjungi Libanon, di mana kami bertemu dan mengenalnya. Pada tahun 1955, saya berada di kantor paman saya, yang menjabat sebagai sekjen urusan agama di Libanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Ketika itu tiba waktunya Salat Ashar dan paman saya, Syekh Mukhtar Alayli sering melakukan salat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Di sana ada juga gereja pada masa `Umar bin al-Khaththab (r), yang telah berubah menjadi masjid di masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja. Paman saya menjadi imam sementara saya bersama dua saudara saya menjadi makmumnya.
Seorang Syekh datang dan salat di sebelah kami. Kemudian ia memandang kedua saudara saya dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya ia menoleh ke arah saya dan menyebutkan nama saya. Kami amat terkejut, karena kami tidak saling mengenal sebelumnya. Paman saya juga tertarik padanya. Itulah pertama kali kami bertemu Syekh Nazim (q). Kakak tertua saya bersikeras untuk mengajak Syekh Nazim (q) dan paman untuk menginap di rumah kami.
Syekh Nazim (q) mengatakan, “Aku dikirim oleh Syekh `Abdullah (q). Beliau yang mengatakan, ‘Setelah Salat Ashar nanti, yang berada di sebelah kananmu bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk Tarekat Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.‘“ Kami masih amat muda dan kagum akan caranya mengetahui nama-nama kami.
Sejak saat itu ia mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke Damaskus setiap minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar diizinkan mengunjungi Grandsyekh. Saya dan saudara saya menerima banyak ilmu spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang dialirkan ke dalam kalbu kami.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus orang silih berganti mengunjungi rumahnya setiap harinya dan dilayani dengan baik. Rumahnya dekat dengan rumah Grandsyekh di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, di sebelah tenggara Damaskus. Rumah semen beliau sangat sederhana dengan perabotan dari kayu atau bahan-bahan alami lainnya yang dibuat dengan tangan.
Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London dengan pesawat dan kembalinya dengan mengendarai mobil lewat jalan darat. Ia melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan Tarekat Sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual darinya. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat.
Tahun-tahun selanjutnya, ia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki di wilayah negara Turki. Sejak tahun 1978, ia menghabiskan tiga sampai empat bulan di setiap daerah di Turki. Dalam setahun ia bepergian di daerah Istanbul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan ia mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian di tahun berikutnya ia bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid mensyiarkan kalamullah dan spiritualitas di mana pun ia berada.
Ke mana pun Syekh Nazim (q) pergi, ia selalu disambut oleh kerumunan massa dari yang sederhana hingga pejabat pemerintahan. Ia termasyhur dengan sebutan ‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syekh Nazim (q) merupakan Syekh dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormatinya. Akhir-akhir ini Syekh Nazim (q) terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Ia diwawancarai hampir setiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Ia mampu menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi (s) sehingga tercipta kedamaian di setiap hati dan pikiran kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekalipun.
Tahun 1986, ia terpanggil untuk mengadakan perjalanan ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Ia diterima dengan baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Ia disebut sebagai orang suci zaman ini di Brunei. Ia disambut dengan keramahan warga dan khususnya oleh Sultan Haji Hasan al-Bolkiah. Ia digolongkan sebagai salah satu Syekh terbesar Tarekat Naqsybandi di Malaysia. Di Pakistan, ia dikenal sebagai pembangkit Tarekat Sufi dan ia mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, muridnya lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) orang, dari kalangan pemerintahan maupun rakyat biasa. Di kalangan Muslim Singapura, ia juga amat dihormati.
Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya ia mengunjungi Amerika. Lebih dari 15 negara bagian dikunjunginya. Ia bertemu dengan banyak kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama: Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Kunjungan ini membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Kunjungan kedua pada tahun 1993, ia mendatangi berbagai daerah dan kota, masjid, gereja, sinagog, dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang di Amerika Utara telah masuk Islam dan ber-bay`at dalam Tarekat Naqsybandi.
Pada bulan Oktober 1993, ia menghadiri peresmian kembali masjid dan sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Ia adalah orang pertama di antara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah pusat para awliya di Asia Tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan ajarannya dalam tarekat ini.
Sebagaimana Syah Naqsyband (q) sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi (q) pelopor di milenium ke-2, dan Khalid al-Baghdadi (q) pelopor kebangkitan Islam, syariat, dan tarekat di Timur Tengah; maka Syekh Nazim Adil al-Haqqani (q) adalah pelopor, pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhannya di abad ini, abad perkembangan teknologi dan materialisme.
Pada tahun 1991 ia memulai perjalanannya ke Amerika. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi lebih dari 15 negara bagian. Ia berjumpa dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan, mencakup umat Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu dan penganut New Age. Kunjungan ini memprakarsai berdirinya lebih dari 15 majelis Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Ia melakukan kunjungan keduanya pada tahun 1993. Ia bepergian ke berbagai kota, mengunjungi masjid, gereja, sinagoga dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang masuk Islam dan menjadi pengikut Tarekat Naqsybandi.
Pada tahun 1986 ia terpanggil untuk berkunjung ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka. Ia mengunjungi kota-kota besar di negara-negara tersebut. Di sana ia disambut oleh Sultan, Presiden, anggota parlemen, para pejabat pemerintah dan tentu saja oleh masyarakat pada umumnya. Di Brunei, ia dianggap sebagai wali di zaman ini, ia mendapat sambutan yang hangat di negara itu, khususnya oleh Sultan, Haji Hasanal Bolkiah. Di Malaysia, ia dianggap sebagai salah satu dari wali besar dalam Tarekat Naqsybandi. Di Pakistan, ia dikenal sebagai Yang Membangkitkan Tarekat dan mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, ia memiliki lebih dari 20.000 murid, dari kalangan pejabat dan masyarakat umum. Ia sangat dihormati di Singapura dan mempunyai banyak murid di sana.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung. Sedikitnya 100 orang pengunjung datang setiap harinya. Ia melayani mereka semuanya.
Syekh Nazim (q) menunaikan ibadah haji setiap tahunnya untuk memimpin jemaah haji dari Siprus. Ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali, baik untuk menjaga murid-muridnya atau mengikuti Grandsyekh `Abdullah (q).
Suatu saat Grandsyekh mengatakan agar ia pergi ke Aleppo dari Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, ajaran Sufisme dan ajaran Islam. Jarak antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Perlu waktu lebih dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syekh Nazim (q) berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa, ia tinggal di sana selama seminggu untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, memimpin zikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanannya sampai ke desa selanjutnya. Namanya pun mulai terdengar di setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai perbatasan Turki dekat Aleppo.
Hal yang sama juga diperintahkan dan dijalankan oleh Syekh Nazim (q), yaitu agar ia berjalan kaki ke Siprus. Dari desa yang satu ke desa lainnya, ia berdakwah, menyeru orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan kehidupan materialistik, sekularisme dan atheisme.
Ia amat dicintai di seluruh Siprus, dan masyhur dengan sebutan ‘Syekh Nazim (q) Yesilbas, atau Syekh Nazim yang berturban hijau’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau
Ia sering mengunjungi Libanon, di mana kami bertemu dan mengenalnya. Pada tahun 1955, saya berada di kantor paman saya, yang menjabat sebagai sekjen urusan agama di Libanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Ketika itu tiba waktunya Salat Ashar dan paman saya, Syekh Mukhtar Alayli sering melakukan salat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Di sana ada juga gereja pada masa `Umar bin al-Khaththab (r), yang telah berubah menjadi masjid di masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja. Paman saya menjadi imam sementara saya bersama dua saudara saya menjadi makmumnya.
Seorang Syekh datang dan salat di sebelah kami. Kemudian ia memandang kedua saudara saya dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya ia menoleh ke arah saya dan menyebutkan nama saya. Kami amat terkejut, karena kami tidak saling mengenal sebelumnya. Paman saya juga tertarik padanya. Itulah pertama kali kami bertemu Syekh Nazim (q). Kakak tertua saya bersikeras untuk mengajak Syekh Nazim (q) dan paman untuk menginap di rumah kami.
Syekh Nazim (q) mengatakan, “Aku dikirim oleh Syekh `Abdullah (q). Beliau yang mengatakan, ‘Setelah Salat Ashar nanti, yang berada di sebelah kananmu bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk Tarekat Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.‘“ Kami masih amat muda dan kagum akan caranya mengetahui nama-nama kami.
Sejak saat itu ia mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke Damaskus setiap minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar diizinkan mengunjungi Grandsyekh. Saya dan saudara saya menerima banyak ilmu spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang dialirkan ke dalam kalbu kami.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus orang silih berganti mengunjungi rumahnya setiap harinya dan dilayani dengan baik. Rumahnya dekat dengan rumah Grandsyekh di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, di sebelah tenggara Damaskus. Rumah semen beliau sangat sederhana dengan perabotan dari kayu atau bahan-bahan alami lainnya yang dibuat dengan tangan.
Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London dengan pesawat dan kembalinya dengan mengendarai mobil lewat jalan darat. Ia melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan Tarekat Sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual darinya. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat.
Tahun-tahun selanjutnya, ia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki di wilayah negara Turki. Sejak tahun 1978, ia menghabiskan tiga sampai empat bulan di setiap daerah di Turki. Dalam setahun ia bepergian di daerah Istanbul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan ia mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian di tahun berikutnya ia bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid mensyiarkan kalamullah dan spiritualitas di mana pun ia berada.
Ke mana pun Syekh Nazim (q) pergi, ia selalu disambut oleh kerumunan massa dari yang sederhana hingga pejabat pemerintahan. Ia termasyhur dengan sebutan ‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syekh Nazim (q) merupakan Syekh dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormatinya. Akhir-akhir ini Syekh Nazim (q) terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Ia diwawancarai hampir setiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Ia mampu menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi (s) sehingga tercipta kedamaian di setiap hati dan pikiran kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekalipun.
Tahun 1986, ia terpanggil untuk mengadakan perjalanan ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Ia diterima dengan baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Ia disebut sebagai orang suci zaman ini di Brunei. Ia disambut dengan keramahan warga dan khususnya oleh Sultan Haji Hasan al-Bolkiah. Ia digolongkan sebagai salah satu Syekh terbesar Tarekat Naqsybandi di Malaysia. Di Pakistan, ia dikenal sebagai pembangkit Tarekat Sufi dan ia mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, muridnya lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) orang, dari kalangan pemerintahan maupun rakyat biasa. Di kalangan Muslim Singapura, ia juga amat dihormati.
Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya ia mengunjungi Amerika. Lebih dari 15 negara bagian dikunjunginya. Ia bertemu dengan banyak kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama: Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Kunjungan ini membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Kunjungan kedua pada tahun 1993, ia mendatangi berbagai daerah dan kota, masjid, gereja, sinagog, dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang di Amerika Utara telah masuk Islam dan ber-bay`at dalam Tarekat Naqsybandi.
Pada bulan Oktober 1993, ia menghadiri peresmian kembali masjid dan sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Ia adalah orang pertama di antara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah pusat para awliya di Asia Tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan ajarannya dalam tarekat ini.
Sebagaimana Syah Naqsyband (q) sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi (q) pelopor di milenium ke-2, dan Khalid al-Baghdadi (q) pelopor kebangkitan Islam, syariat, dan tarekat di Timur Tengah; maka Syekh Nazim Adil al-Haqqani (q) adalah pelopor, pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhannya di abad ini, abad perkembangan teknologi dan materialisme.
Pada tahun 1991 ia memulai perjalanannya ke Amerika. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi lebih dari 15 negara bagian. Ia berjumpa dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan, mencakup umat Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu dan penganut New Age. Kunjungan ini memprakarsai berdirinya lebih dari 15 majelis Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Ia melakukan kunjungan keduanya pada tahun 1993. Ia bepergian ke berbagai kota, mengunjungi masjid, gereja, sinagoga dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang masuk Islam dan menjadi pengikut Tarekat Naqsybandi.
Pada tahun 1986 ia terpanggil untuk berkunjung ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka. Ia mengunjungi kota-kota besar di negara-negara tersebut. Di sana ia disambut oleh Sultan, Presiden, anggota parlemen, para pejabat pemerintah dan tentu saja oleh masyarakat pada umumnya. Di Brunei, ia dianggap sebagai wali di zaman ini, ia mendapat sambutan yang hangat di negara itu, khususnya oleh Sultan, Haji Hasanal Bolkiah. Di Malaysia, ia dianggap sebagai salah satu dari wali besar dalam Tarekat Naqsybandi. Di Pakistan, ia dikenal sebagai Yang Membangkitkan Tarekat dan mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, ia memiliki lebih dari 20.000 murid, dari kalangan pejabat dan masyarakat umum. Ia sangat dihormati di Singapura dan mempunyai banyak murid di sana.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung. Sedikitnya 100 orang pengunjung datang setiap harinya. Ia melayani mereka semuanya.
Khalwat Syekh Nazim (q)
Khalwat pertamanya atas perintah Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada tahun 1955 di Sweileh, Yordania. Ia berkhalwat selama 6 bulan. Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadirannya mampu menarik ribuan murid di Sweileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadiannya.
Ketika ia baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, Syekh Nazim (q) dipanggil oleh Grandsyekh `Abdullah (q), “Aku menerima perintah dari Nabi (s) untukmu agar melakukan khalwat di masjid `Abdul Qadir Jailani (q) di Baghdad. Pergilah ke sana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”
Syekh Nazim (q) bercerita mengenai peristiwa ini,
Aku tidak bertanya apapun pada Grandsyekh. Aku bahkan tidak pulang ke rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya. Tidak pernah terlintas dalam benakku, ‘aku perlu pakaian, uang atau makanan.’ Ketika beliau berkata, ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku memang ingin melakukan khalwat bersama Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika sampai di kota, aku melihat seorang pria yang sedang menatapku. Ia mengenaliku. “Syekh Nazim (q), kau mau ke mana?“ “Ke Baghdad,” jawabku. Ternyata ia adalah murid Grandsyekh. “Aku juga mau ke sana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan barang untuk dikirim ke Baghdad.
Ketika memasuki masjid Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), ada seorang pria tinggi besar yang berdiri di pintu. Ia memanggilku, ”Syekh Nazim (q)!” “Ya,” jawabku. “Aku ditunjuk untuk melayanimu selama engkau tinggal di sini. Mari ikuti aku.” Sebenarnya aku terkejut dengan hal ini, namun di dalam tarekat segala hal telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang Ghawts. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’
Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan salat 5 waktu saja. Aku mencapai sebuah maqam di mana aku mampu khatam al-Qur’an dalam waktu 9 jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan shalawat 124.000 kali, ditambah membaca seluruh Dalail al-Khayrat, dan membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan kepadaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan mengantarku dari satu maqam ke maqam lainnya sampai akhirnya aku menjadi fana’ dalam Hadirat Allah.
Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) memanggilku menuju makamnya. Beliau berkata, ‘Wahai cucuku, aku sedang menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, salat 2 rakaat dan berjalan menuju makamnya yang hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampainya di sana, aku mulai melakukan muraqaba. “As-salam alayka ya jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, wahai kakekku).“ Segera aku melihat beliau keluar dari makam dan berdiri di sampingku. Di belakang beliau ada sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Beliau berkata, “Mendekatlah dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”
Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan, “Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam Syekhmu, `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) amat tinggi dalam Tarekat Naqsybandi. Aku ini kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang dipegang oleh Ghawts. Aku memberi bay’at untukmu dalam Tarekat Qadiriah sekarang.” Kemudian Grandsyekh nampak di hadapanku, Nabi (s) pun hadir, juga Syah Naqsyband (q). Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) berdiri memberi hormat pada Nabi (s) beserta para Syekh yang hadir, aku pun melakukannya.
Beliau berkata,
‘Wahai Nabi (s), ya Rasulullah (s), aku adalah kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan kemajuannya dalam Tarekat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan Tarekat Naqsybandi pada maqamku.‘
Nabi (s) tersenyum dan memandang Syah Naqsyband (q), selanjutnya Syah Naqsyband (q) memandang pada Grandsyekh `Abdullah (q). Inilah adab pimpinan yang baik, karena Syekh `Abdullah (q) yang masih hidup pada saat itu. Grandsyekh menerima rahasia Tarekat Naqsybandi yang diterima beliau dari Syah Naqsyband (q) melalui silsilah Nabi (s), dari Abu Bakar ash-Shiddiq (r), agar ditambahkan pada maqam Syekh Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika Syekh Nazim (q) menyelesaikan khalwatnya, dan akan segera meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) muncul dan memperbarui bay’at Syekh Nazim (q) dalam Tarekat Qadiriah. Beliau berkata, “Cucuku, aku akan memberimu kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syekh Nazim (q) dan memberinya 10 buah koin yang merupakan uang yang berlaku semasa beliau hidup. Koin itu masih disimpan oleh Syekh Nazim (q) sampai sekarang.
Sebelum pergi, Syekh Nazim (q) memberi tanda kenangan berupa jubah kepada Syekh yang telah melayaninya selama khalwat di sana. “Aku memakai jubah ini selama khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat salat dan zikir. Simpanlah, Allah (swt) dan Nabi (s) akan memberkatimu.” Syekh itu mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syekh Nazim (q) meninggalkan Baghdad dan kembali ke Damaskus, Suriah.
Pada tahun 1992, ketika Syekh Nazim (q) mengunjungi Lahore, Pakistan; ia berziarah ke makam Syekh Ali Hujwiri (q). Lalu salah seorang Syekh dari Tarekat Qadiriah mengundangnya ke rumahnya. Syekh Nazim (q) menginap di sana. Setelah Salat Subuh, tuan rumah itu berkata,
‘Wahai Syekh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan sebuah jubah berharga yang telah kami warisi sejak 27 tahun yang lalu. Jubah ini diwariskan dari seorang Syekh besar Tarekat Qadiriah dari Baqhdad sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua Syekh kami menyimpan dan menjaganya karena dulunya ini adalah jubah pribadi dari ‘Ghawts’ pada masa itu.
Seorang Syekh Turki dari Tarekat Naqsybandi berkhalwat di masjid dan makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Setelah selesai, ia memberikan jubah ini sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Menjelang wafatnya, Syekh Qadiriah pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya agar menjaga jubahnya, karena siapapun yang mengenakan jubahnya, semua penyakitnya akan hilang. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat kasyf.’
Ia membuka lemari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di kotak kaca. Ia keluarkan jubah itu. Syekh Nazim (q) tersenyum melihatnya. Syekh Qadiriah itu bertanya pada Syekh Nazim (q), ”Apakah sebenarnya ini, Syekh?“
Syekh Nazim (q) menjawab, “Ini membuatku bahagia. Jubah ini aku berikan pada Syekh Tarekat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”
Ketika mendengar hal ini, Syekh tersebut mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at di dalam Tarekat Naqsybandi.
Khalwat pertamanya atas perintah Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada tahun 1955 di Sweileh, Yordania. Ia berkhalwat selama 6 bulan. Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadirannya mampu menarik ribuan murid di Sweileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadiannya.
Ketika ia baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, Syekh Nazim (q) dipanggil oleh Grandsyekh `Abdullah (q), “Aku menerima perintah dari Nabi (s) untukmu agar melakukan khalwat di masjid `Abdul Qadir Jailani (q) di Baghdad. Pergilah ke sana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”
Syekh Nazim (q) bercerita mengenai peristiwa ini,
Aku tidak bertanya apapun pada Grandsyekh. Aku bahkan tidak pulang ke rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya. Tidak pernah terlintas dalam benakku, ‘aku perlu pakaian, uang atau makanan.’ Ketika beliau berkata, ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku memang ingin melakukan khalwat bersama Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika sampai di kota, aku melihat seorang pria yang sedang menatapku. Ia mengenaliku. “Syekh Nazim (q), kau mau ke mana?“ “Ke Baghdad,” jawabku. Ternyata ia adalah murid Grandsyekh. “Aku juga mau ke sana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan barang untuk dikirim ke Baghdad.
Ketika memasuki masjid Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), ada seorang pria tinggi besar yang berdiri di pintu. Ia memanggilku, ”Syekh Nazim (q)!” “Ya,” jawabku. “Aku ditunjuk untuk melayanimu selama engkau tinggal di sini. Mari ikuti aku.” Sebenarnya aku terkejut dengan hal ini, namun di dalam tarekat segala hal telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang Ghawts. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’
Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan salat 5 waktu saja. Aku mencapai sebuah maqam di mana aku mampu khatam al-Qur’an dalam waktu 9 jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan shalawat 124.000 kali, ditambah membaca seluruh Dalail al-Khayrat, dan membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan kepadaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan mengantarku dari satu maqam ke maqam lainnya sampai akhirnya aku menjadi fana’ dalam Hadirat Allah.
Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) memanggilku menuju makamnya. Beliau berkata, ‘Wahai cucuku, aku sedang menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, salat 2 rakaat dan berjalan menuju makamnya yang hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampainya di sana, aku mulai melakukan muraqaba. “As-salam alayka ya jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, wahai kakekku).“ Segera aku melihat beliau keluar dari makam dan berdiri di sampingku. Di belakang beliau ada sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Beliau berkata, “Mendekatlah dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”
Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan, “Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam Syekhmu, `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) amat tinggi dalam Tarekat Naqsybandi. Aku ini kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang dipegang oleh Ghawts. Aku memberi bay’at untukmu dalam Tarekat Qadiriah sekarang.” Kemudian Grandsyekh nampak di hadapanku, Nabi (s) pun hadir, juga Syah Naqsyband (q). Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) berdiri memberi hormat pada Nabi (s) beserta para Syekh yang hadir, aku pun melakukannya.
Beliau berkata,
‘Wahai Nabi (s), ya Rasulullah (s), aku adalah kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan kemajuannya dalam Tarekat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan Tarekat Naqsybandi pada maqamku.‘
Nabi (s) tersenyum dan memandang Syah Naqsyband (q), selanjutnya Syah Naqsyband (q) memandang pada Grandsyekh `Abdullah (q). Inilah adab pimpinan yang baik, karena Syekh `Abdullah (q) yang masih hidup pada saat itu. Grandsyekh menerima rahasia Tarekat Naqsybandi yang diterima beliau dari Syah Naqsyband (q) melalui silsilah Nabi (s), dari Abu Bakar ash-Shiddiq (r), agar ditambahkan pada maqam Syekh Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika Syekh Nazim (q) menyelesaikan khalwatnya, dan akan segera meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) muncul dan memperbarui bay’at Syekh Nazim (q) dalam Tarekat Qadiriah. Beliau berkata, “Cucuku, aku akan memberimu kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syekh Nazim (q) dan memberinya 10 buah koin yang merupakan uang yang berlaku semasa beliau hidup. Koin itu masih disimpan oleh Syekh Nazim (q) sampai sekarang.
Sebelum pergi, Syekh Nazim (q) memberi tanda kenangan berupa jubah kepada Syekh yang telah melayaninya selama khalwat di sana. “Aku memakai jubah ini selama khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat salat dan zikir. Simpanlah, Allah (swt) dan Nabi (s) akan memberkatimu.” Syekh itu mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syekh Nazim (q) meninggalkan Baghdad dan kembali ke Damaskus, Suriah.
Pada tahun 1992, ketika Syekh Nazim (q) mengunjungi Lahore, Pakistan; ia berziarah ke makam Syekh Ali Hujwiri (q). Lalu salah seorang Syekh dari Tarekat Qadiriah mengundangnya ke rumahnya. Syekh Nazim (q) menginap di sana. Setelah Salat Subuh, tuan rumah itu berkata,
‘Wahai Syekh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan sebuah jubah berharga yang telah kami warisi sejak 27 tahun yang lalu. Jubah ini diwariskan dari seorang Syekh besar Tarekat Qadiriah dari Baqhdad sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua Syekh kami menyimpan dan menjaganya karena dulunya ini adalah jubah pribadi dari ‘Ghawts’ pada masa itu.
Seorang Syekh Turki dari Tarekat Naqsybandi berkhalwat di masjid dan makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Setelah selesai, ia memberikan jubah ini sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Menjelang wafatnya, Syekh Qadiriah pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya agar menjaga jubahnya, karena siapapun yang mengenakan jubahnya, semua penyakitnya akan hilang. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat kasyf.’
Ia membuka lemari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di kotak kaca. Ia keluarkan jubah itu. Syekh Nazim (q) tersenyum melihatnya. Syekh Qadiriah itu bertanya pada Syekh Nazim (q), ”Apakah sebenarnya ini, Syekh?“
Syekh Nazim (q) menjawab, “Ini membuatku bahagia. Jubah ini aku berikan pada Syekh Tarekat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”
Ketika mendengar hal ini, Syekh tersebut mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at di dalam Tarekat Naqsybandi.
Khalwat di Madinah
Sering kali Syekh Nazim (q) diperintahkan untuk melakukan khalwat dengan kurun waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda-beda, mulai diisolasi dari kontak dunia luar, salat, atau hanya diperkenankan adanya kontak saat melaksanakan zikir atau pertemuan karena memberi kajian. Ia sering melaksanakan khalwat di kota Nabi (s). Ia mengatakan,
‘Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama Syekh mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan Syekh Abdullah (q) di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi Muhammad (s). Di sana terdapat satu pintu dan sebuah jendela. Segera setelah kami memasuki ruangan itu, Syekh menutup jendela rapat-rapat dan beliau mengizinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan salat 5 waktu di Masjid Nabi (s).
Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah/nazar bar qadam’ dalam perjalanan menuju tempat salat. Dengan disiplin dan mengontrol pandangan kita berarti memutuskan diri dari segala hal kecuali pada Allah (swt) `azza wa jalla beserta Nabi-Nya (s).
Syekh `Abdullah (q) tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan. Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.
Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyekh duduk membaca Qur’an hanya dengan penerangan lilin, berzikir dan mengangkat tangannya dalam doa. Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau menggunakan bahasa langit. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan penglihatan yang masuk ke dalam kalbuku.
Aku tidak tahu kapan saatnya malam ataupun siang kecuali saat salat. Grandsyekh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh, kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika pergi untuk salat.
Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan, ‘Ya Allah, berilah aku kekuatan “Ghawts”/perantara/penolong, dari kekuatan yang Engkau berikan pada Nabi-Mu (s) untuk meminta ampunan-Mu bagi seluruh umat manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ mengenai keadaan saat Hari Kiamat. Allah (swt) turun dari Arasy-Nya dan mengadili umat manusia. Nabi (s) berada di samping kanan-Nya. Grandsyekh berada di sebelah kanan Nabi (s), dan aku berada di sebelah kanan Grandsyekh.
Setelah Allah (swt) mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang pada Nabi (s) untuk menjadi perantara bagi ampunan-Nya. Ketika Nabi (s) selesai melakukannya, beliau (s) meminta Grandsyekh untuk memberi berkahnya dan mengangkat mereka dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir dan aku mendengar Grandsyekh mengatakan, ‘alhamdulillah, alhamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’
Suatu hari setelah selesai Salat Subuh Grandsyekh mengatakan, ‘Nazim Effendi, lihat!’ Ke mana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada di bagian kalbu beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan padaku, ’Wahai anakku, Syekh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dirinya sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau ke tempat lain di bumi ini.
‘Allah (swt) memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air memancar deras keluar dari batu itu. Beliau berkata, ‘Air itu akan terus memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah (swt) mengatakan padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia menciptakan satu malaikat bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’
Allah (swt) berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), tugasmu adalah memberi nama malaikat-malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh ada pengulangan. Hitunglah berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian bagikan pada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi. Itulah tanggung jawabmu.” Aku takjub terhadap beliau beserta tugas luar biasa yang diembannya.
Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir khalwat kami setelah Salat Subuh aku mendengar suara-suara dari arah luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis. Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung selama berjam-jam. Aku tidak tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya. Grandsyekh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang menangis?” Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, “Wahai Syekh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.” “Setan mengumumkan pada kelompoknya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya.”
Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati Syekh dan aku. Penglihatan itu berakhir. Grandsyekh meletakkan tangannya di dadaku sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi (s) bahagia terhadapmu, beliau (s) juga bahagia denganku.”
Lalu aku melihat Nabi Muhammad (s) beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000 sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5 Qutub dan Ghawts. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan ilmu spiritual mereka ke dalam kalbuku. Aku mewarisi dari mereka rahasia-rahasia Tarekat Naqsybandi dan 40 Tarekat-Tarekat lainnya.
Sering kali Syekh Nazim (q) diperintahkan untuk melakukan khalwat dengan kurun waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda-beda, mulai diisolasi dari kontak dunia luar, salat, atau hanya diperkenankan adanya kontak saat melaksanakan zikir atau pertemuan karena memberi kajian. Ia sering melaksanakan khalwat di kota Nabi (s). Ia mengatakan,
‘Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama Syekh mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan Syekh Abdullah (q) di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi Muhammad (s). Di sana terdapat satu pintu dan sebuah jendela. Segera setelah kami memasuki ruangan itu, Syekh menutup jendela rapat-rapat dan beliau mengizinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan salat 5 waktu di Masjid Nabi (s).
Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah/nazar bar qadam’ dalam perjalanan menuju tempat salat. Dengan disiplin dan mengontrol pandangan kita berarti memutuskan diri dari segala hal kecuali pada Allah (swt) `azza wa jalla beserta Nabi-Nya (s).
Syekh `Abdullah (q) tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan. Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.
Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyekh duduk membaca Qur’an hanya dengan penerangan lilin, berzikir dan mengangkat tangannya dalam doa. Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau menggunakan bahasa langit. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan penglihatan yang masuk ke dalam kalbuku.
Aku tidak tahu kapan saatnya malam ataupun siang kecuali saat salat. Grandsyekh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh, kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika pergi untuk salat.
Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan, ‘Ya Allah, berilah aku kekuatan “Ghawts”/perantara/penolong, dari kekuatan yang Engkau berikan pada Nabi-Mu (s) untuk meminta ampunan-Mu bagi seluruh umat manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ mengenai keadaan saat Hari Kiamat. Allah (swt) turun dari Arasy-Nya dan mengadili umat manusia. Nabi (s) berada di samping kanan-Nya. Grandsyekh berada di sebelah kanan Nabi (s), dan aku berada di sebelah kanan Grandsyekh.
Setelah Allah (swt) mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang pada Nabi (s) untuk menjadi perantara bagi ampunan-Nya. Ketika Nabi (s) selesai melakukannya, beliau (s) meminta Grandsyekh untuk memberi berkahnya dan mengangkat mereka dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir dan aku mendengar Grandsyekh mengatakan, ‘alhamdulillah, alhamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’
Suatu hari setelah selesai Salat Subuh Grandsyekh mengatakan, ‘Nazim Effendi, lihat!’ Ke mana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada di bagian kalbu beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan padaku, ’Wahai anakku, Syekh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dirinya sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau ke tempat lain di bumi ini.
‘Allah (swt) memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air memancar deras keluar dari batu itu. Beliau berkata, ‘Air itu akan terus memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah (swt) mengatakan padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia menciptakan satu malaikat bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’
Allah (swt) berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), tugasmu adalah memberi nama malaikat-malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh ada pengulangan. Hitunglah berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian bagikan pada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi. Itulah tanggung jawabmu.” Aku takjub terhadap beliau beserta tugas luar biasa yang diembannya.
Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir khalwat kami setelah Salat Subuh aku mendengar suara-suara dari arah luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis. Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung selama berjam-jam. Aku tidak tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya. Grandsyekh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang menangis?” Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, “Wahai Syekh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.” “Setan mengumumkan pada kelompoknya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya.”
Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati Syekh dan aku. Penglihatan itu berakhir. Grandsyekh meletakkan tangannya di dadaku sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi (s) bahagia terhadapmu, beliau (s) juga bahagia denganku.”
Lalu aku melihat Nabi Muhammad (s) beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000 sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5 Qutub dan Ghawts. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan ilmu spiritual mereka ke dalam kalbuku. Aku mewarisi dari mereka rahasia-rahasia Tarekat Naqsybandi dan 40 Tarekat-Tarekat lainnya.
Syekh Nazim (q) memimpin zikir Tarekat Naqsybandi, Khatm Khwajagan di Masjid Peckham yang dulunya merupakan Gereja Katedral St. Mark di London.
Keramat Syekh Nazim (q)
Pada tahun 1971, Syekh Nazim (q) seperti biasa ia berada di Siprus selama 3 bulan; Rajab, Sya`ban, dan Ramadan. Suatu hari di bulan Sya`ban, kami mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syekh Nazim (q) yang meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira ia akan datang.
“Aku diminta oleh Nabi (s) untuk menemui kalian hari ini karena ayah kalian akan wafat. Aku yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu kembali ke Siprus.” “Oh Syekh, Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi padanya.” “Itulah yang dikatakan padaku,” jawabnya dengan amat yakin. Kami pun menyerah saja karena apapun yang dikatakan Syekh, kami harus menerimanya.
Ia meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakan permintaanya walaupun ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami menghubunginya. Ada yang hadir dan ada pula yang tidak. Ayah saya tidak mengetahui masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa. Pukul tujuh kurang seperempat. Syekh Nazim (q) berkata, “Aku harus naik ke apartemen ayahmu untuk membaca Surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.” Lalu ia naik dari flat kami di bawah. Ayah saya memberi salam pada Syekh Nazim (q), lalu mengatakan, ”Wahai Syekh Nazim (q), sudah lama kami tak mendengarmu membaca Qur’an. Maukah kau melakukannya untuk kami?” Syekh Nazim (q) pun mulai membaca Surat Ya Sin. Ketika ia selesai membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika ayahku berteriak, “Jantungku, jantungku...!!” Kami merebahkan beliau, kedua saudara saya yang sama-sama dokter memeriksanya. Jantungnya berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Semua orang melihat pada Syekh Nazim (q) dengan takjub dan keheranan. “Bagaimana ia mengetahuinya? Wali macam apakah dia? Bagaimana bisa dari Siprus, ia datang hanya untuk hal ini? Rahasia seperti apakah yang ada di dalam kalbunya?“
Rahasia yang disimpannya adalah berkat rahmat Allah (swt) pada beliau. Allah (swt) memberi wewenang untuk kekuatan dan ramalan karena ia memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan pada agama Allah. Ia menjaga kewajiban dan ibadahnya. Ia menghormati al-Quran. Ia sama dengan seluruh awliya Naqsybandi sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya tarekat lain dan para leluhurnya, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) dan Jalaluddin Rumi (q) dan Muhyiddin Ibn Arabi (q) yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan cinta Ilahi itu ia akan dianugerahi Ilmu Ilahiah, kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Ia akan menjadi orang yang mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan.
Kami merasa terperangkap di antara dua emosi. Pertama karena tangis kesedihan kami karena wafatnya ayah kami dan yang kedua bahagia atas apa yang dilakukan oleh guru kami pada almarhum ayah kami. Kedatangannya demi ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Ia memandikan jasad ayah dengan tangannya yang suci. Setelah semua tugas dijalankan, ia kembali lagi ke Siprus tanpa ditunda.
Suatu hari Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon selama 2 bulan pada musim haji. Gubernur kota Tripoli, Libanon yang bernama Ashar ad-Danya merupakan pemimpin resmi subuah kelompok haji. Ia menawari Syekh Nazim (q) untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Syekh berkata, ”Aku tidak bisa pergi denganmu, tetapi insya Allah, kita akan bertemu di sana.”
Gubernur tetap memaksa. “Jika engkau pergi, pergilah denganku. Jangan pergi dengan orang lain.” Syekh Nazim (q) menjawab, “Aku tidak tahu apakah aku akan pergi atau tidak.”
Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, ia segera menuju ke rumah Syekh Nazim (q). Di hadapan sekitar 100 orang, kami mendengar ia mengatakan, “Wahai Syekh Nazim (q), mengapa engkau pergi dengan orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, “Syekh tidak pergi haji. Ia bersama kami di sini selama 2 bulan berkeliling Libanon.” Gubernur berkata lagi, “Tidak! Ia pergi haji, kami punya saksi-saksi. Waktu itu aku sedang tawaf dan Syekh Nazim (q) mendatangiku lalu mengatakan, ‘Oh Ashur, kau di sini?’ Aku mengiyakan dan kami melakukan tawaf bersama-sama. Ia menginap di hotel kami di Mekah. Dan menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Ia juga menginap bersamaku di Mina selama 3 hari. Lalu ia mengatakan, ‘Aku harus ke Madinah mengunjungi Nabi (s).’
Kemudian kami memandang Syekh Nazim (q) yang menampakkan senyum khasnya dan seakan-akan mengatakan, “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah (swt) kepada para awliya-Nya. Bila mereka berada di Jalan-Nya, meraih Cinta-Nya dan Hadirat-Nya, Allah (swt) akan menganugerahi segala hal.”
“Oh Syekhku, keramat yang kau tunjukkan kepada kami adalah sangat luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya sepanjang hidupku. Aku ini seorang politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui bahwa engkau bukanlah orang biasa. Engkau mempunyai kekuatan yang istimewa. Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan kepadamu!”
Gubernur itu mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Setiap kali Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon, gubernur dan perdana menteri Libanon akan hadir dalam majelis Syekh Nazim (q). Sampai saat ini, keluarga-keluarganya dan masyarakat Libanon menjadi pengikut Syekh Nazim (q).
Kata-Kata Syekh Nazim (q)
Tentang Keesaan Tuhan yang Khas (Wahdaniyyah), Syekh Nazim (q) mengatakan,
“Itu artinya mustahil adanya kemajemukan, dan ia terdiri dari tiga kategori:
Keesaan yang Khas dalam Dzat-Nya, artinya Dzat-Nya tidak berlipat ganda dan bukan merupakan gabungan dari dua bagian atau lebih, dan tidak ada yang mirip dengan Dzat Ilahiah-Nya.
Keesaan yang Khas dalam Sifat-Sifat-Nya, artinya Allah (swt) tidak memiliki dua macam Sifat yang mewakili hal yang sama. Sebagai contoh, Dia tidak mempunyai dua Kehendak dan tidak pula dua Niat. Dia adalah Satu dalam segala Sifat-Nya.
Keesaan yang Khas dalam segala Perbuatan-Nya, artinya Dia-lah Sang Pencipta, dengan Keinginan-Nya sendiri dan Kehendak-Nya sendiri atas segala yang muncul di alam semesta ini. Seluruh ciptaan-Nya baik itu suatu substansi, atau suatu deskripsi atau suatu perbuatan. Jadi, semua Perbuatan-Nya diciptakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.
“Jika cintanya benar, maka sang pecinta harus menjaga penghormatannya terhadap Sang Kekasih dan bertingkah laku yang semestinya terhadapnya.”
“Haqqul Yaqiin yang tertinggi adalah ketika Syekh memuji Hadirat-Nya di mata kalian dan mengecilkan segala sesuatu selain Allah (swt).”
“Ada 3 ular besar yang dapat merusak manusia: tidak toleransi dan tidak sabar dengan orang-orang di sekitar kalian, menjadi terbiasa dengan sesuatu yang tidak bisa kalian tinggalkan, dan terbelenggu oleh ego kalian.”
“Menggapai dunia adalah hina sedangkan menggapai akhirat adalah mulia. Aku heran dengan orang-orang yang lebih memilih menjadi hina daripada mulia.”
“Jika Allah (swt) membuka Intisari dari Cinta Ilahiah-Nya, semua orang di bumi ini akan mati karena cinta itu.”
“Kita harus selalu terlibat dalam hal-hal berikut: merenungkan ayat-ayat Allah di dalam kitab suci al-Qur’an dan tanda-tanda Kebesaran-Nya yang akan menyebabkan cinta berkembang di dalam hati kita; memikirkan Janji-Nya untuk memberi pahala bagi kita, yang akan melahirkan kerinduan di dalam diri kita; dan memikirkan tentang ancaman hukuman-Nya akan menimbulkan perasaan malu kepada-Nya di dalam diri kita.
“Allah (swt) berfirman, ‘Barang siapa yang bersabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.’”
“Jika takwa tertanam di dalam hati, lidah tidak akan berbicara hal-hal yang tidak ada manfaatnya.”
“Tasawuf adalah penyucian terus-menerus dalam menuju Hadirat Ilahiah Allah (swt) dan inti sarinya adalah meninggalkan kehidupan materialistik ini.”
“Suatu saat Junaid (q) melihat Iblis dalam suatu penglihatan, dan Iblis itu dalam keadaan telanjang. Junaid (q) berkata, ‘Wahai yang terkutuk, apakah kau tidak malu terlihat telanjang oleh manusia?’ Ia menjawab, ‘Oh Junaid, mengapa aku harus malu kepada orang-orang, sementara mereka sendiri tidak merasa malu pada dirinya sendiri.”
“Bila kalian bertemu dengan seorang pencari di jalan Allah (swt), dekatilah dia dengan ketulusan, kesetiaan dan kasih sayang. Jangan mendekatinya dengan ilmu. Ilmu akan membuatnya menjadi liar pada awalnya, tetapi kasih sayang akan cepat membawanya kepadamu.”
“Seorang pencari haruslah seseorang yang telah meninggalkan dirinya sendiri dan menghubungkan kalbunya kepada Hadirat Ilahi. Ia berdiri di Hadirat-Nya melakukan kewajiban-kewajibannya sambil membayangkan Hadirat Ilahi dengan kalbunya. Cahaya Ilahi telah membakar kalbunya yang membuatnya kehausan akan nektar mawar, dan menarik tirai dari matanya agar ia dapat melihat Tuhannya. Jika ia membuka mulutnya, itu adalah atas perintah dari Hadirat Ilahi. Jika ia bergerak, itu adalah atas perintah Allah, dan jika ia merasa damai, itu adalah atas perbuatan dari Atribut Ilahiah. Ia berada dalam Hadirat Ilahi dan bersama Allah.”
“Seorang Sufi adalah orang yang menjaga kewajiban-kewajiban yang telah Allah sampaikan kepada Nabi (s), dan berjuang untuk meningkatkan dirinya menuju Maqamul Ihsan, yang merupakan Makrifatullah, ilmu untuk mengenal Allah.”
“Tasawuf adalah sebuah ilmu di mana orang belajar mengenai keadaan jiwa manusia, apakah terpuji atau tercela. Jika keadaannya tercela, ia belajar bagaimana membersihkannya hingga menjadi terpuji dan menjadikannya mampu menempuh perjalanan menuju Hadirat Ilahiah Allah. Buahnya adalah perkembangan kalbu: Makrifatullah, melalui pengalaman langsung; keselamatan di akhirat; memperoleh kemenangan dengan meraih rida Allah; pencapaian kebahagiaan yang kekal; dan pencerahan dan penyucian sehingga hal-hal yang mulia menyingkapkan dirinya sendiri, maqam-maqam yang luar biasa menjadi terbuka dan ia dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata batin orang lain.”
“Tasawuf bukanlah semacam ibadah tertentu, tetapi lebih pada mengaitkan kalbu kepada Allah. Dalam pelaksanaannya bila ada sesuatu yang lebih disukai (mandub) menurut standard Syariah, bagi seseorang dalam situasi tertentu, maka orang itu dapat melakukannya. Inilah sebabnya mengapa kita melihat bahwa kaum Sufi telah berkhidmah di dalam Islam dalam kapasitas yang beragam. Para cendikiawan Muslim harus mendapat pendidikan mengenai Sufisme ini.”
Pada tahun 1971, Syekh Nazim (q) seperti biasa ia berada di Siprus selama 3 bulan; Rajab, Sya`ban, dan Ramadan. Suatu hari di bulan Sya`ban, kami mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syekh Nazim (q) yang meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira ia akan datang.
“Aku diminta oleh Nabi (s) untuk menemui kalian hari ini karena ayah kalian akan wafat. Aku yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu kembali ke Siprus.” “Oh Syekh, Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi padanya.” “Itulah yang dikatakan padaku,” jawabnya dengan amat yakin. Kami pun menyerah saja karena apapun yang dikatakan Syekh, kami harus menerimanya.
Ia meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakan permintaanya walaupun ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami menghubunginya. Ada yang hadir dan ada pula yang tidak. Ayah saya tidak mengetahui masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa. Pukul tujuh kurang seperempat. Syekh Nazim (q) berkata, “Aku harus naik ke apartemen ayahmu untuk membaca Surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.” Lalu ia naik dari flat kami di bawah. Ayah saya memberi salam pada Syekh Nazim (q), lalu mengatakan, ”Wahai Syekh Nazim (q), sudah lama kami tak mendengarmu membaca Qur’an. Maukah kau melakukannya untuk kami?” Syekh Nazim (q) pun mulai membaca Surat Ya Sin. Ketika ia selesai membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika ayahku berteriak, “Jantungku, jantungku...!!” Kami merebahkan beliau, kedua saudara saya yang sama-sama dokter memeriksanya. Jantungnya berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Semua orang melihat pada Syekh Nazim (q) dengan takjub dan keheranan. “Bagaimana ia mengetahuinya? Wali macam apakah dia? Bagaimana bisa dari Siprus, ia datang hanya untuk hal ini? Rahasia seperti apakah yang ada di dalam kalbunya?“
Rahasia yang disimpannya adalah berkat rahmat Allah (swt) pada beliau. Allah (swt) memberi wewenang untuk kekuatan dan ramalan karena ia memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan pada agama Allah. Ia menjaga kewajiban dan ibadahnya. Ia menghormati al-Quran. Ia sama dengan seluruh awliya Naqsybandi sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya tarekat lain dan para leluhurnya, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) dan Jalaluddin Rumi (q) dan Muhyiddin Ibn Arabi (q) yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan cinta Ilahi itu ia akan dianugerahi Ilmu Ilahiah, kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Ia akan menjadi orang yang mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan.
Kami merasa terperangkap di antara dua emosi. Pertama karena tangis kesedihan kami karena wafatnya ayah kami dan yang kedua bahagia atas apa yang dilakukan oleh guru kami pada almarhum ayah kami. Kedatangannya demi ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Ia memandikan jasad ayah dengan tangannya yang suci. Setelah semua tugas dijalankan, ia kembali lagi ke Siprus tanpa ditunda.
Suatu hari Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon selama 2 bulan pada musim haji. Gubernur kota Tripoli, Libanon yang bernama Ashar ad-Danya merupakan pemimpin resmi subuah kelompok haji. Ia menawari Syekh Nazim (q) untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Syekh berkata, ”Aku tidak bisa pergi denganmu, tetapi insya Allah, kita akan bertemu di sana.”
Gubernur tetap memaksa. “Jika engkau pergi, pergilah denganku. Jangan pergi dengan orang lain.” Syekh Nazim (q) menjawab, “Aku tidak tahu apakah aku akan pergi atau tidak.”
Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, ia segera menuju ke rumah Syekh Nazim (q). Di hadapan sekitar 100 orang, kami mendengar ia mengatakan, “Wahai Syekh Nazim (q), mengapa engkau pergi dengan orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, “Syekh tidak pergi haji. Ia bersama kami di sini selama 2 bulan berkeliling Libanon.” Gubernur berkata lagi, “Tidak! Ia pergi haji, kami punya saksi-saksi. Waktu itu aku sedang tawaf dan Syekh Nazim (q) mendatangiku lalu mengatakan, ‘Oh Ashur, kau di sini?’ Aku mengiyakan dan kami melakukan tawaf bersama-sama. Ia menginap di hotel kami di Mekah. Dan menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Ia juga menginap bersamaku di Mina selama 3 hari. Lalu ia mengatakan, ‘Aku harus ke Madinah mengunjungi Nabi (s).’
Kemudian kami memandang Syekh Nazim (q) yang menampakkan senyum khasnya dan seakan-akan mengatakan, “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah (swt) kepada para awliya-Nya. Bila mereka berada di Jalan-Nya, meraih Cinta-Nya dan Hadirat-Nya, Allah (swt) akan menganugerahi segala hal.”
“Oh Syekhku, keramat yang kau tunjukkan kepada kami adalah sangat luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya sepanjang hidupku. Aku ini seorang politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui bahwa engkau bukanlah orang biasa. Engkau mempunyai kekuatan yang istimewa. Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan kepadamu!”
Gubernur itu mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Setiap kali Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon, gubernur dan perdana menteri Libanon akan hadir dalam majelis Syekh Nazim (q). Sampai saat ini, keluarga-keluarganya dan masyarakat Libanon menjadi pengikut Syekh Nazim (q).
Kata-Kata Syekh Nazim (q)
Tentang Keesaan Tuhan yang Khas (Wahdaniyyah), Syekh Nazim (q) mengatakan,
“Itu artinya mustahil adanya kemajemukan, dan ia terdiri dari tiga kategori:
Keesaan yang Khas dalam Dzat-Nya, artinya Dzat-Nya tidak berlipat ganda dan bukan merupakan gabungan dari dua bagian atau lebih, dan tidak ada yang mirip dengan Dzat Ilahiah-Nya.
Keesaan yang Khas dalam Sifat-Sifat-Nya, artinya Allah (swt) tidak memiliki dua macam Sifat yang mewakili hal yang sama. Sebagai contoh, Dia tidak mempunyai dua Kehendak dan tidak pula dua Niat. Dia adalah Satu dalam segala Sifat-Nya.
Keesaan yang Khas dalam segala Perbuatan-Nya, artinya Dia-lah Sang Pencipta, dengan Keinginan-Nya sendiri dan Kehendak-Nya sendiri atas segala yang muncul di alam semesta ini. Seluruh ciptaan-Nya baik itu suatu substansi, atau suatu deskripsi atau suatu perbuatan. Jadi, semua Perbuatan-Nya diciptakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.
“Jika cintanya benar, maka sang pecinta harus menjaga penghormatannya terhadap Sang Kekasih dan bertingkah laku yang semestinya terhadapnya.”
“Haqqul Yaqiin yang tertinggi adalah ketika Syekh memuji Hadirat-Nya di mata kalian dan mengecilkan segala sesuatu selain Allah (swt).”
“Ada 3 ular besar yang dapat merusak manusia: tidak toleransi dan tidak sabar dengan orang-orang di sekitar kalian, menjadi terbiasa dengan sesuatu yang tidak bisa kalian tinggalkan, dan terbelenggu oleh ego kalian.”
“Menggapai dunia adalah hina sedangkan menggapai akhirat adalah mulia. Aku heran dengan orang-orang yang lebih memilih menjadi hina daripada mulia.”
“Jika Allah (swt) membuka Intisari dari Cinta Ilahiah-Nya, semua orang di bumi ini akan mati karena cinta itu.”
“Kita harus selalu terlibat dalam hal-hal berikut: merenungkan ayat-ayat Allah di dalam kitab suci al-Qur’an dan tanda-tanda Kebesaran-Nya yang akan menyebabkan cinta berkembang di dalam hati kita; memikirkan Janji-Nya untuk memberi pahala bagi kita, yang akan melahirkan kerinduan di dalam diri kita; dan memikirkan tentang ancaman hukuman-Nya akan menimbulkan perasaan malu kepada-Nya di dalam diri kita.
“Allah (swt) berfirman, ‘Barang siapa yang bersabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.’”
“Jika takwa tertanam di dalam hati, lidah tidak akan berbicara hal-hal yang tidak ada manfaatnya.”
“Tasawuf adalah penyucian terus-menerus dalam menuju Hadirat Ilahiah Allah (swt) dan inti sarinya adalah meninggalkan kehidupan materialistik ini.”
“Suatu saat Junaid (q) melihat Iblis dalam suatu penglihatan, dan Iblis itu dalam keadaan telanjang. Junaid (q) berkata, ‘Wahai yang terkutuk, apakah kau tidak malu terlihat telanjang oleh manusia?’ Ia menjawab, ‘Oh Junaid, mengapa aku harus malu kepada orang-orang, sementara mereka sendiri tidak merasa malu pada dirinya sendiri.”
“Bila kalian bertemu dengan seorang pencari di jalan Allah (swt), dekatilah dia dengan ketulusan, kesetiaan dan kasih sayang. Jangan mendekatinya dengan ilmu. Ilmu akan membuatnya menjadi liar pada awalnya, tetapi kasih sayang akan cepat membawanya kepadamu.”
“Seorang pencari haruslah seseorang yang telah meninggalkan dirinya sendiri dan menghubungkan kalbunya kepada Hadirat Ilahi. Ia berdiri di Hadirat-Nya melakukan kewajiban-kewajibannya sambil membayangkan Hadirat Ilahi dengan kalbunya. Cahaya Ilahi telah membakar kalbunya yang membuatnya kehausan akan nektar mawar, dan menarik tirai dari matanya agar ia dapat melihat Tuhannya. Jika ia membuka mulutnya, itu adalah atas perintah dari Hadirat Ilahi. Jika ia bergerak, itu adalah atas perintah Allah, dan jika ia merasa damai, itu adalah atas perbuatan dari Atribut Ilahiah. Ia berada dalam Hadirat Ilahi dan bersama Allah.”
“Seorang Sufi adalah orang yang menjaga kewajiban-kewajiban yang telah Allah sampaikan kepada Nabi (s), dan berjuang untuk meningkatkan dirinya menuju Maqamul Ihsan, yang merupakan Makrifatullah, ilmu untuk mengenal Allah.”
“Tasawuf adalah sebuah ilmu di mana orang belajar mengenai keadaan jiwa manusia, apakah terpuji atau tercela. Jika keadaannya tercela, ia belajar bagaimana membersihkannya hingga menjadi terpuji dan menjadikannya mampu menempuh perjalanan menuju Hadirat Ilahiah Allah. Buahnya adalah perkembangan kalbu: Makrifatullah, melalui pengalaman langsung; keselamatan di akhirat; memperoleh kemenangan dengan meraih rida Allah; pencapaian kebahagiaan yang kekal; dan pencerahan dan penyucian sehingga hal-hal yang mulia menyingkapkan dirinya sendiri, maqam-maqam yang luar biasa menjadi terbuka dan ia dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata batin orang lain.”
“Tasawuf bukanlah semacam ibadah tertentu, tetapi lebih pada mengaitkan kalbu kepada Allah. Dalam pelaksanaannya bila ada sesuatu yang lebih disukai (mandub) menurut standard Syariah, bagi seseorang dalam situasi tertentu, maka orang itu dapat melakukannya. Inilah sebabnya mengapa kita melihat bahwa kaum Sufi telah berkhidmah di dalam Islam dalam kapasitas yang beragam. Para cendikiawan Muslim harus mendapat pendidikan mengenai Sufisme ini.”
Prediksi Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tentang Syekh Nazim (q)
Grandsyekh, sebelum beliau wafat, mengatakan dalam wasiatnya, “Atas perintah Nabi (s) aku telah melatih dan mengangkat penerusku, Nazim Effendi (q) dan memerintahkannya dalam berbagai khalwat dan melatihnya dalam latihan yang berat dan aku menunjuknya sebagai penerusku. Aku melihat bahwa di masa depan ia akan menyebarkan tarekat ini melalui Timur dan Barat. Allah akan membuat beragam orang, kaya dan miskin, para ulama dan politikus mendatanginya, belajar darinya dan masuk ke dalam Tarekat Naqsybandi, yaitu pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tarekat ini akan menyebar ke seluruh dunia, sehingga tidak ada satu benua pun yang tidak mendapatkan harum wanginya.
“Aku melihatnya membangun dan mendirikan markas yang besar di London dan dari sana ia akan menyebarkan tarekat ini ke Eropa, Timur Jauh dan Amerika. Ia akan menyebarkan keikhlasan, cinta, kesalehan, harmoni dan kebahagiaan di tengah masyarakat dan mereka akan meninggalkan kejahatan, terorisme dan politik. Ia akan menyebarkan ilmu tentang kedamaian dalam hati, ilmu tentang kedamaian dalam masyarakat, ilmu tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa, agar peperangan dan pergulatan dapat dihentikan dari dunia ini dan perdamaian menjadi faktor yang dominan. Aku melihat generasi muda mendatanginya dari berbagai penjuru dunia, meminta restu dan berkahnya. Ia akan memperlihatkan kepada mereka jalan untuk menjaga kewajiban-kewajiban mereka dalam tradisi Islam, menjadi moderat, hidup damai dengan setiap orang dengan agama-agama yang berbeda, meninggalkan kebencian dan permusuhan. Agama adalah bagi Allah (swt), dan Allah adalah Hakim bagi hamba-hamba-Nya.”
Prediksi itu telah terjadi, sebagaimana yang digambarkan oleh Grandsyekh `Abdullah (q). Setelah Grandsyekh wafat pada tahun 1973, Mawlana Syekh Nazim (q) melakukan perjalanan pulangnya yang pertama ke Turki, mengunjungi Bursa. Kemudian ia pergi ke London. Banyak generasi muda, terutama pengikut John Bennett datang menemuinya. Ketika mulai banyak orang yang berdatangan untuk mendengarnya, ia mendirikan pusat dakwah pertamanya di sana pada tahun 1974.
Setelah kunjungan pertamanya ia melanjutkan kunjungannya setiap tahun ke Inggris dan benua Eropa selama dan setelah Ramadan. Tarekat ini menyebar dengan cepat, menembus seluruh Eropa, juga Amerika, Kanada dan Amerika Selatan. Ia membuka tiga pusat dakwah di London untuk melatih orang-orang di jalan spiritualitas, menghilangkan depresi mereka dan mengangkat mereka ke dalam keadaan damai di hati mereka. Dakwahnya berlanjut ke seluruh bagian Eropa, Afrika Utara, Afrika Selatan, negara-negara Teluk, Amerika Utara dan Selatan serta sub benua India, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa daerah di China, Australia dan Selandia Baru.
Anda mungkin tidak akan menemukan di negeri-negeri yang telah kami sebutkan atau negeri-negeri yang belum kami sebutkan, suatu tempat di mana sentuhan Syekh Nazim (q) tidak dirasakan. Inilah yang membedakannya dengan semua wali lainnya yang masih hidup sekarang dan semua wali yang hidup sebelumnya. Anda akan menemukan berbagai bahasa digunakan di dalam majelisnya. Setiap tahun di bulan Ramadan, sebuah pertemuan besar diadakan di London, lebih dari 5.000 orang dari seluruh dunia menghadirinya. Sebagaimana firman Allah (swt), “Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” [49:13]
Para pengikutnya berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Orang miskin, menengah, kaya, pengusaha, dokter, pengacara, psikiater, astronom, tukang pipa, tukang kayu, menteri, politikus, senator, anggota parlemen, perdana menteri, presiden, raja, sultan dan anggota keluarga kesultanan, semuanya tertarik dengan kesederhanaannya, dengan senyumnya, dengan cahayanya dan spiritualitasnya. Jadi, ia dikenal sebagai Syekh universal dengan beragam latar belakang.
Perkataan-perkataannya dan asosiasinya (shuhba) telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam banyak buku, termasuk serial Mercy Oceans dan lebih dari 35 judul lainnya. Ribuan rekaman video dan ribuan dan ribuan jam ceramahnya juga telah didokumentasikan.
Kehidupannya senantiasa aktif. Ia adalah seorang musafir di jalan Allah, jarang tinggal di rumah, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Satu hari ia berada di Timur, hari berikutnya sudah berada di Barat. Satu hari ia di Utara, hari berikutnya ia di Selatan. Anda tidak akan mengetahui ke mana ia akan pergi dari satu hari ke hari berikutnya. Ia selalu bertemu para pejabat untuk mendorong dilakukannya rekonsiliasi dan mendorong perdamaian, serta memelihara lingkungan. Ia selalu menanamkan benih-benih cinta, perdamaian dan keharmonisan dalam hati manusia. Kami berharap dengan semangat ajarannya, semua agama akan menemukan jalurnya menuju rekonsiliasi dan meninggalkan perbedaan-perbedaan untuk hidup secara damai dan harmonis.
Prediksi Syekh Nazim (q) tentang masa depan dunia merupakan kelanjutan dari prediksi Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu dengan mengungkapkan kejadian-kejadian sebelum mereka terjadi, memberi peringatan kepada orang-orang agar mereka memperhatikan apa yang akan terjadi. Seringkali ia mengatakan, “Komunisme akan berakhir, dan Uni Soviet akan terpecah menjadi negara-negara kecil.” Ia juga memprediksikan bahwa Tembok Berlin akan dihancurkan.
Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi berada di tangannya. Ia membawanya dengan kekuatan tertinggi. Rahasia itu bersinar ke mana-mana. Semoga Allah (swt) memberkatinya dan memberi kekuatan padanya dalam melaksanakan pekerjaan sucinya. Semoga Allah (swt) mengirimkan lebih banyak kedamaian, berkah, keselamatan dan cahaya kepada Nabi Tercinta Muhammad (s), keluarga dan sahabatnya. Juga kepada semua nabi, awliya khususnya hamba-hamba-Nya yang taat di dalam Tarekat Naqsybandi dan semua Tarekat Sufi khususnya kepada wali-Nya di masa kita, Syekh Nazim al-Haqqani (q).
https://docs.google.com/document/d/1wut5MKZYz5rnsbWEGzDQOxduDdJlPEH-zoGvEQEBk1c/mobilebasic?pli=1
Grandsyekh, sebelum beliau wafat, mengatakan dalam wasiatnya, “Atas perintah Nabi (s) aku telah melatih dan mengangkat penerusku, Nazim Effendi (q) dan memerintahkannya dalam berbagai khalwat dan melatihnya dalam latihan yang berat dan aku menunjuknya sebagai penerusku. Aku melihat bahwa di masa depan ia akan menyebarkan tarekat ini melalui Timur dan Barat. Allah akan membuat beragam orang, kaya dan miskin, para ulama dan politikus mendatanginya, belajar darinya dan masuk ke dalam Tarekat Naqsybandi, yaitu pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tarekat ini akan menyebar ke seluruh dunia, sehingga tidak ada satu benua pun yang tidak mendapatkan harum wanginya.
“Aku melihatnya membangun dan mendirikan markas yang besar di London dan dari sana ia akan menyebarkan tarekat ini ke Eropa, Timur Jauh dan Amerika. Ia akan menyebarkan keikhlasan, cinta, kesalehan, harmoni dan kebahagiaan di tengah masyarakat dan mereka akan meninggalkan kejahatan, terorisme dan politik. Ia akan menyebarkan ilmu tentang kedamaian dalam hati, ilmu tentang kedamaian dalam masyarakat, ilmu tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa, agar peperangan dan pergulatan dapat dihentikan dari dunia ini dan perdamaian menjadi faktor yang dominan. Aku melihat generasi muda mendatanginya dari berbagai penjuru dunia, meminta restu dan berkahnya. Ia akan memperlihatkan kepada mereka jalan untuk menjaga kewajiban-kewajiban mereka dalam tradisi Islam, menjadi moderat, hidup damai dengan setiap orang dengan agama-agama yang berbeda, meninggalkan kebencian dan permusuhan. Agama adalah bagi Allah (swt), dan Allah adalah Hakim bagi hamba-hamba-Nya.”
Prediksi itu telah terjadi, sebagaimana yang digambarkan oleh Grandsyekh `Abdullah (q). Setelah Grandsyekh wafat pada tahun 1973, Mawlana Syekh Nazim (q) melakukan perjalanan pulangnya yang pertama ke Turki, mengunjungi Bursa. Kemudian ia pergi ke London. Banyak generasi muda, terutama pengikut John Bennett datang menemuinya. Ketika mulai banyak orang yang berdatangan untuk mendengarnya, ia mendirikan pusat dakwah pertamanya di sana pada tahun 1974.
Setelah kunjungan pertamanya ia melanjutkan kunjungannya setiap tahun ke Inggris dan benua Eropa selama dan setelah Ramadan. Tarekat ini menyebar dengan cepat, menembus seluruh Eropa, juga Amerika, Kanada dan Amerika Selatan. Ia membuka tiga pusat dakwah di London untuk melatih orang-orang di jalan spiritualitas, menghilangkan depresi mereka dan mengangkat mereka ke dalam keadaan damai di hati mereka. Dakwahnya berlanjut ke seluruh bagian Eropa, Afrika Utara, Afrika Selatan, negara-negara Teluk, Amerika Utara dan Selatan serta sub benua India, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa daerah di China, Australia dan Selandia Baru.
Anda mungkin tidak akan menemukan di negeri-negeri yang telah kami sebutkan atau negeri-negeri yang belum kami sebutkan, suatu tempat di mana sentuhan Syekh Nazim (q) tidak dirasakan. Inilah yang membedakannya dengan semua wali lainnya yang masih hidup sekarang dan semua wali yang hidup sebelumnya. Anda akan menemukan berbagai bahasa digunakan di dalam majelisnya. Setiap tahun di bulan Ramadan, sebuah pertemuan besar diadakan di London, lebih dari 5.000 orang dari seluruh dunia menghadirinya. Sebagaimana firman Allah (swt), “Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” [49:13]
Para pengikutnya berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Orang miskin, menengah, kaya, pengusaha, dokter, pengacara, psikiater, astronom, tukang pipa, tukang kayu, menteri, politikus, senator, anggota parlemen, perdana menteri, presiden, raja, sultan dan anggota keluarga kesultanan, semuanya tertarik dengan kesederhanaannya, dengan senyumnya, dengan cahayanya dan spiritualitasnya. Jadi, ia dikenal sebagai Syekh universal dengan beragam latar belakang.
Perkataan-perkataannya dan asosiasinya (shuhba) telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam banyak buku, termasuk serial Mercy Oceans dan lebih dari 35 judul lainnya. Ribuan rekaman video dan ribuan dan ribuan jam ceramahnya juga telah didokumentasikan.
Kehidupannya senantiasa aktif. Ia adalah seorang musafir di jalan Allah, jarang tinggal di rumah, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Satu hari ia berada di Timur, hari berikutnya sudah berada di Barat. Satu hari ia di Utara, hari berikutnya ia di Selatan. Anda tidak akan mengetahui ke mana ia akan pergi dari satu hari ke hari berikutnya. Ia selalu bertemu para pejabat untuk mendorong dilakukannya rekonsiliasi dan mendorong perdamaian, serta memelihara lingkungan. Ia selalu menanamkan benih-benih cinta, perdamaian dan keharmonisan dalam hati manusia. Kami berharap dengan semangat ajarannya, semua agama akan menemukan jalurnya menuju rekonsiliasi dan meninggalkan perbedaan-perbedaan untuk hidup secara damai dan harmonis.
Prediksi Syekh Nazim (q) tentang masa depan dunia merupakan kelanjutan dari prediksi Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu dengan mengungkapkan kejadian-kejadian sebelum mereka terjadi, memberi peringatan kepada orang-orang agar mereka memperhatikan apa yang akan terjadi. Seringkali ia mengatakan, “Komunisme akan berakhir, dan Uni Soviet akan terpecah menjadi negara-negara kecil.” Ia juga memprediksikan bahwa Tembok Berlin akan dihancurkan.
Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi berada di tangannya. Ia membawanya dengan kekuatan tertinggi. Rahasia itu bersinar ke mana-mana. Semoga Allah (swt) memberkatinya dan memberi kekuatan padanya dalam melaksanakan pekerjaan sucinya. Semoga Allah (swt) mengirimkan lebih banyak kedamaian, berkah, keselamatan dan cahaya kepada Nabi Tercinta Muhammad (s), keluarga dan sahabatnya. Juga kepada semua nabi, awliya khususnya hamba-hamba-Nya yang taat di dalam Tarekat Naqsybandi dan semua Tarekat Sufi khususnya kepada wali-Nya di masa kita, Syekh Nazim al-Haqqani (q).
https://docs.google.com/document/d/1wut5MKZYz5rnsbWEGzDQOxduDdJlPEH-zoGvEQEBk1c/mobilebasic?pli=1